Sekulerisme, Seteruan Ideologi dan Penjahat Kemanusiaan.





Oleh : Fauzan Zakir, SH, MH

Seorang pendeta yang akhirnya atheis, mengatakan dalam kotbahnya, bahwa Tuhan telah mati. Tuhan tidak bisa berbuat banyak bagi keselamatan manusia. Tuhan pun telah dibunuh oleh ide-ide kemanusiaan yang tumbuh-kembang oleh dialektika.
Barang kali dialektika semacam ini, boleh jadi mendorong kepada segolongan anak muda yang terpicu pula, sehingga simpati dengan kerangka berpikir pendeta atheis ini.

Sejarah pemikiran sekulerisme yang berakar atheis sebenarnya sudah ada sejak zaman romawi. Mengalami perkembangan pesat pada abad pencerahan (renaisance), sekitar abad XVIII. Saat renaisance lahir, manusia mulai memper-Tuhankan logika dan materialistik. Kemudian melahirkan dan menularkan sekulerisme keseluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia sampai sekarang, seperti merembesnya paham sosialisme, liberalisme dan kapitalisme, bahkan komunisme keseluruh pelosok nusantara sebelum Indonesia merdeka.

Munculnya komunisme sebagai anak emas atheisme, merupakan penantangan terhadap berkembangnya liberalisme, sosialisme dan kapitalisme. Karl Mark pencetus ideologi ini memimpikan perbaikan kehidupan orang-orang tertindas, kaum ploretart, tanpa melibatkan Tuhan. Gulatan pemikiran Karl Mark menemui titik terang, yakni komunisme sebagai simbol kekuatan perlawanan kaum tertindas.

Secara gerakannya, memang komunis mempunyai keunggulan dibidang propoganda. Sehingga, keunggulan itu memberikan ruh dan semangat kepada setiap pengikutnya untuk berjuang melepaskan diri dari kerengkeng kezaliman dan prustasi kekuasaan yang menindas. Gerakannya yang cenderung militan, radikal, dinamis dan revolusioner, dalam beberapa momentum sangat ampuh untuk mengimbangi kekuatan kelas penindas yang frontal.

Perseteruan Ideologi Politik
Terlepas pro dan kontra atas kegeraman sebagian kalangan terhadap orang-orang yang atheis dan sekuler. Tulisan ini ialah ungkapan keprihatinan sekaligus kekecewaan atas tindakan yang kurang arif dan bijaksana. Ternyata diantara kita masih ada yang menonjolkan sikap subjektivitas dan sentimen belaka. Apa lagi sentimen yang dibungkus alasan pembenaran mengatasnamakan agama.

Bukankah, di era keterbukaan ini, semua orang harus sadar bahwa tidak boleh menghambat apa pun yang menyangkut kebebasan berpikir, berpendapat, beragama dan berideologi. Karena penghalangan itu adalah kejahatan terhadap kemanusian, prinsif dasar universal declaration of human right, konstitusi Republik Indonesia maupun Islam itu sendiri.

Sejarah lahirnya Republik ini pun tidak lepas pula dari perseteruan politik antara gagasan Islamisme maupun sekulerisme. Secara gamblang kita dapat melihat polemik yang bernuansa ideologis ini berlangsung secara intens dan simultan melalui perdebatan serius Soekarno dengan Natsir sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Hingga mencapai puncak, ketika munculnya tragedi Islam-sekularisme di masa Konstituante kurun 50-an.

Di era reformasi, sekulerisasi negara menjadi dominan. Perolehan suara Partai Islam setiap pemilu hanya berkisar 20 %. Menggambarkan rakyat Indonesia ragu dengan keseriusan Partai Islam memperjuangkan perberlakuan syariat Islam di negara ini. Apa lagi politisi Islam secara konsep gagal dan tidak siap memberlakuan syariat Islam untuk ummatnya sendiri.
Gerakan pemberlakuan syariat Islam – baru ditandai sebatas “formalisme”. Semacam penyakit yang menghendaki semua harus serba disebut dengan label Islam, tanpa ada upaya mendalami lebih jauh tentang apa yang disebut Islam. Misalnya, ada yang disebut Islam tetapi sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam, ada yang tidak disebut Islam justru sesuai dengan ajaran Islam. Sementara Islam itu sendiri – boleh jadi sama halnya dengan agama lain – justru lebih mementingkan isi (subtansi) ketimbang sebutan (formalitas).

Dalam soal formalisme ini, Syafii Ma’arif, mengatakan, tuntutan pemberlakuan syariat Islam hanyalah sebagai “dagangan politik” bagi kalangan politisi Islam. Malahan Ia meragukan bila seluruh rakyat Indonesia, termasuk kalangan Islam itu sendiri setuju dengan pemberlakuan syariat Islam. Syafii malah lebih yakin bahwa gagasan-gagasan politisi Islam itu akan kandas ditengah jalan, mengingat banyaknya kalangan politisi Islam itu sendiri yang memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam sebagai dasar negara hanya sebagai basa-basi, slogan kosong yang tidak difahami dan dihayatinya secara mendalam.

Dahlan Danuraharjo, pendiri HMI dan tokoh Islam, pernah mewanti-wanti, kalau dikalangan pemimpin Islam ada pandangannya yang keliru tentang ajaran Islam. Mereka dihinggapi semacam “fixed idea”, yaitu apa yang dianggap perintah tapi perintah itu sebenarnya tidak ada, dalam hal ini Ia contohkan mengenai Negara Islam,  sebenarnya tidak ada. Menurut Dahlan bahwa Al Qur’an atau Hadis tidak ada memerintahkan ummat Islam untuk mendirikan Negara Islam. Terkecuali mewujudkan negara yang adil dan makmur.

Dahlan juga mengatakan, kekeliruan yang fatal jika memahami artikulasi wahyu sebagai ideologi. Pada hal wahyu itu adalah jauh lebih tinggi tingkatannya dari ideologi. Wahyu yang datangnya dari Allah, sementara ideologi hanya muncul dari pikiran manusia semata. Kekeliruan ini juga paralel dengan pemahaman yang salah tentang apa itu Islam, selain mungkin juga karena pemahaman yang kurang tepat mengenai apa itu ideologi.

Kejahatan kemanusiaan
terlepas dari pendapat diatas masih debatable, akan tetapi fakta yang mempersepsikan Islam sama dengan Ideologi, sebagaimana banyak dianut oleh para politisi dunia Islam (Ali Syariati, Malik Bin Nabi, dan Osama Bin Laden) lebih sering membawa akibat yang parah bagi ummat Islam. Seperti realitas kondisi ummat Islam yang mengenaskan di Jajirah Arab, Persia, Afrika Utara, Bosnia, Afganistan, dan negara-negara bekas Uni Soviet. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia, perseteruan ideologi politik memakan banyak korban manusia.

Kalangan ummat Islam selama ini terlalu menitikberatkan kepada pemahaman aqidah dan ibadah saja. Sementara kurang membawa ummat kepada pemahaman dan penghayatan Islam dibidang kemasyarakatan dan kenegaraan yang menyeluruh (konprehensif).
Dalam konteks ini, patut digaris bawahi, bahwa banyak kalangan pemimpin Islam yang hanyut dalam formalisme dan sloganisme keagamaan yang sempit. Paling-paling yang sering dikemukakan ialah orang yang mabuk harus dicambuk, mencuri dipotong tangannya, berzina dirajam dan yang atheis adalah  kafir-qurais - halalah darahnya.
Bila demikian halnya ; apakah semua ajaran Islam dibidang kehidupan bernegara hanya terdiri beberapa hal itu saja - yang nota bone masih harus dikaji lebih jauh lagi. Lalu., apakah perintah-perintah seperti itu boleh dilaksanakan secara harpiah begitu ?

Inilah beberapa pertanyaan yang signifikan untuk dijawab sendiri oleh kalangan ummat Islam. Terutama sekali beban ini ada dipundak kalangan pemimpin Islam, agar Islamisasi itu tidak ditakuti dan melulu ditertawakan sebagai “formalisme” belaka. itu sendiri.
Katakanlah seorang atheis telah berbuat jahat terhadap Tuhan yang tidak diakuinya.  Boleh jadi, bagi yang bersangkutan masa pencarian Tuhan itu belumlah tuntas. Lantas apakah kita boleh langsung menghukum yang bersangkutan, karena hidayah Allah belum menyertainya. Sementara bagi kita sendiri yang mengaku ber-Tuhan, boleh jadi dimata Tuhan sama saja. Belum ada jaminan apakah hubungan ke-Tuhanannya juga sudah tuntas.

Katakanlah negara ikut-ikutan latah juga memperoses hukum terhadap pelaku kejahatan aqidah. Bukankah soal aqidah itu Allah Maha Mengetahui, Maha Adil dan berkompeten untuk mengazabnya atau membalasnya di akhirat kelak. Bukankah dalam Islam tidak ada paksaan? Bukankah seisi alam semesta ini dibiarkan mengalir secara Sunnatullah dan alamiyah? Soal hambanya mau ber-Tuhan atau tidak, takkan merugikan Tuhan itu sendiri.
Sementara konstitusi negara telah membatasi kewenangannya untuk mengadili dan menghukum kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran terhadap manusia saja. Pelaku korupsi misalnya apakah juga menunjukkan kalau Ia seseorang yang ber-Tuhan? Karena itu dosa terhadap Tuhan secara langsung betapapun besarnya, toh menurut Al-Qur’an masih bisa diampuni, bila yang bersangkutan “taubatan nasuha”, dan atas seizin Allah jualah hidayah dan rahmat menyertai hamba yang dikehendakiNya. Sementara kejahatan kemanusian tidak ada ampunannya, sepanjang ia belum dimaafkan oleh sikorban maupun ahli warisnya.

Bagi kalangan Islam sendiri sesungguhnya wajib hukumnya untuk menjunjung nilai-nilai Islam itu, dimana dan kapan saja. Namun janganlah kebakaran jenggot bila mendapatkan masukan dan kritikan, seperti halnya kritikan Syafii Ma’arif yang mengemukakan bahwa “tentang ide-ide Negara Islam itu perlu didukung oleh kesiapan pengetahuan dan landasan sosial yang memadai. Sebab ruang lingkup syariat Islam itu cukup luas dan kompleks – yang melingkupi segala bidang kehidupan manusia, seperti, ekonomi, sosial, hukum dan politik”.

Sementara tujuan yang subtantif untuk mencapai cita-cita negara yang utama, yakni  mencapai masyarakat adil dan makmur sampai hari ini tak kunjung kesampaian. Namun pergulatan dan  perjuangan terus digelindingkan, sekalipun tujuan negara belum tercapai.

Penulis adalah Advokat dan Dosen

Posting Komentar

0 Komentar

SELAMAT MEMBACA, SEMOGA BERMANFAAT