Oleh: Fitri Dwi Arini
Dosen Departemen Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Padang
DPW ISRI Sumatera Barat
Disampaikan pada Rapat Koordinasi Penguatan Kepemahaman Kepemiluan Kepada Disabilitas, Hotel Pangeran (Padang), 20 Oktober 2022
Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada tahun 2011 lalu. Hal ini merupakan pengakuan dari konsep disabilitas yang merupakan hasil dari interaksi antara orang-orang dengan keterbatasan dengan lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efektif di dalam masyarakat. Melalui Undang-Undang No 8 Tahun 2016, Pasal 13 khususnya, Negara Indonesia menjamin Hak Politik bagi Penyandang Disabilitas diantaranya meliputi hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik, memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, serta hak dalam memperoleh pendidikan politik.
473 hari lagi, Bangsa Indonesia akan dihadapkan pada pesta demokrasi. Pemilu merupakan praktek perwujudan hak asasi manusia. Hak memilih dan dipilih merupakan bagian dari hak asasi tersebut. Penyelenggaraan Pemilu yang mengimplementasikan electoral justice system secara efektif, menunjukkan adanya independensi dan imparsialitas untuk mewujudkan keadilan, transparansi, aksesibilitas, serta kesetaraan dan inklusivitas bagi para pemilik kedaulatan (rakyat). Termasuk rakyat dengan disabilitas.
Diperkirakan, satu juta masyarakat dunia hidup dengan disabilitas, dan sekitar 18% diantaranya berada di negara-negara berkembang (WHO & World Bank, 2018). Menurut Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, ada sekitar 1,9 juta penyandang disabilitas umum 18-59 di Provinsi Sumatera Barat. Sehingga, penyandang disabilitas termasuk dalam kelompok marjinal bukan karena minoritas secara jumlah saja, tetapi juga karena terpinggirkan di ruang publik. Bahwa atensi yang dibangun terhadap konsep penyandang disabilitas merupakan produksi dari perspektif diskriminatif.
Manifestasi dari perspektif ini salah satunya adalah masih adanya isu aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, dalam konteks ini dalam penyelenggaraan Pemilu. Mulai dari tahap pra-pemilu, seperti kegiatan kampanye. Partai-partai politik perlu menyediakan media informasi kampanye yang inklusif bagi penyandang disabilitas dengan segala jenis perbedaannya. Seperti penyediaan takarir dalam media informasi berupa video bagi penyandang tuli. Penyediaan media cetak dengan format beragam, seperti ukuran huruf yang dibuat lebih besar bagi penyandang low vision, atau bahkan dengan format cetak huruf braille.
Selain isu aksesibilitas, rendahnya persentase partisipasi dari penyandang disabilitas dalam politik elektoral juga perlu disoroti lebih dalam. Pada Pemilihan Presiden 2014, penyandang disabilitas yang terlibat dalam Pemilu sekitar 2.95% per TPS (Alaidrus, 2019). Pada Pemilu 2019, 1.2 juta penyandang disabilitas berat yang terdata sebagai Pemilih Tetap di KPU (Farisa, 2019). Sedangkan menurut Susenas, ada sekitar 2.89 juta penyandang disabilitas diatas usia 17 tahun di tahun yang sama. Artinya partisipasi penyandang disabilitas tidak lebih dari 50% diantara jumlah keseluruhan. Hal ini dapat berkaitan dengan proses pemutakhiran data Daftar Pemilih Tetap. Yakni, masih ada stigma dari keluarga atau lingkungan bahwa suara dari penyandang disabilitas tidak menentukan. Hal ini tentu tidak benar.
Pelibatan organisasi penyandang disabilitas dalam kegiatan-kegiatan pra-pemilu baik oleh KPU maupun Bawaslu merupakan langkah strategis yang sudah diupayakan. Sebagai wakil dari rakyat disabilitas dalam wadah organisasi. Masukan dari organisasi penyandang disabilitas sangatlah diperlukan demi terwujudnya penyelenggaraan Pemilu yang inklusif. Selain itu, advokasi dari organisasi penyandang disabilitas terhadap masyarakat disabilitas secara luas, juga perlu digencarkan agar partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu mendatang dapat meningkat. (**)
0 Komentar