SWARATARUNA.COM - Dekatnya jarak antara pemilu dan pemilihan serentak 2024 memiliki tantangan tersendiri, terutama bagi penyelenggara.
"Bagi penyelenggara tentu harus mengantisipasi sejak dini kemungkinan pelanggaran yang bakal terjadi," ujar Pengamat Politik, Hary Efendi Iskandar, dalam Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif bersama Tokoh Masyarakat dan Tokoh Keagamaan di Sumbar, Minggu (4/12/2022). Sosialisasi yang diselenggarakan Bawaslu Sumbar tersebut berlangsung 4-5 Desember 2022 di Hotel Truntum, Padang.
Setidaknya, lanjut Hary, ada empat hal yang harus diantisipasi dalam Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 nanti. Hal ini berdasarkan pemilu dan pemilihan sebelumnya.
"Pertama, tensi dan dinamika kontestasi politik yang semakin tinggi melahirkan politik identitas yang mengakibatkan keterbelahan, bahkan hingga saat ini. Kita berharap ini tidak berlanjut. Kita juga berharap pasangan calon presiden itu lebih dari dua, sehingga masyarakat tidak terbelah," ungkap akademisi dari FIB Unand ini.
Pemilu sebelumnya, papar Hary, dengan lebih dari 2 pasangan calon bisa dijadikan cerminan. Dimana, jika lebih dari dua pasang calon, proses konsolidasi politik terjadi dengan baik.
Selanjutnya, kata Hary, politik uang yang sulit diantisipasi.
"Sikap kita sebagai tokoh masyarakat dan tokoh agama, mari kita kawal agar politik uang itu tidak terjadi. Mesti kita kampanyekan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan oleh siapa pun," ujar pria yang akrab disapa Ajo Hary ini.
Ajo menyampaikan, agar politik uang tidak masif, harus dibangun aspek pendidikan politik dan kesadaran politik.
"Sehingga, pesta demokrasi ini benar-benar pesta yang gembira dan tidak menakutkan atau menitikkan air mata karena ada keluarganya dipenjara akibat politik uang. Untuk itu kita harus mendorong kesadaran politik yang sehat," papar Ajo Hary.
Kemudian, lanjutya, kecenderungan partisipasi politik yang terus menurun.
"Dalam disertasi saya, pada Pemilu 1955, waktu kampanye masyarakat membawa nasi dan uang untuk diserahkan ke partai politik. Demikian percayanya masyarakat pada tokoh politik. Namun, sekarang partisipasi pemilih justru semakin menurun. Partisipasi tertinggi Pemilu pascareformasi pada Pemilu 1999 yaitu 92,6 persen. Pemilu selanjutnya, partisipasi pemilih justru semakin menurun," ungkapnya.
Terakhir, paparnya, kampanye yang tidak sehat dan black campagne. Di masa post truth dan disrupsi informasi seperti saat ini, sangat sulit menemukan kebenaran yang faktual.
"Mengatasi semua itu, kita harus berkolaborasi untuk memberikan pendidikan politik agar pemilu jurdil itu bisa terwujud. Salah satu solusinya penguatan kesadaran kerelawanan pengawasan partisipatif oleh masyarakat," katanya.
Hal ini, kata Ajo Hary, sejalan dengan orientasi kerja-kerja pengawasan pemilu 2024 oleh Bawaslu yang mengedepankan pada usaha-usaha pencegahan (preventif) terhadap pelanggaran dalam tahapan Pemilu dan Pemilihan Serentak.
"Ini upaya mentransformasikan kekuatan moral menjadi gerakan sosial dengan konsekuensi memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang kepemiluan dan teknik pengawasan," tandasnya. (SSC)
0 Komentar